Lirik lagu “Aku Papua” yang dipopulerkan oleh Edo
Kondologit, penyanyi asli Papua, kembali dinyanyikan secara bersama oleh
21 siswa Papua yang akan melanjutkan studinya ke Jerman.
“Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke
bumi, Seluas tanah sebanyak madu, adalah harta harapan. Tanah papua
tanah leluhur, Di sana aku lahir, Bersama angin bersama daun, Aku di
besarkan”
Bagi Helen Wenda,salah satu dari 21 siswa,
mengatakan bahwa studi ke Jerman itu seperti mimpi. “Sejak duduk di
bangku sekolah, tak ada bayangan sama sekali kalau akhirnya saya
terseleksi menjadi salah satu siswa yang mendapat bea siswa ke Jerman”
katanya.
21 siswa Papua itu berasal dari dua daerah. Yang
pertama, 12 siswa lulusan SMA berasal dari Jayapura dan kebanyakan
berasal dari suku-suku pegunungan Wamena (Lembah Baliem) seperti suku
Lani, Dani dan suku Yali. Sedangkan, 9 siswa lainnya berasal dari Timika
Mimika yang sebelumnya telah tamat dari SMA Lokon Tomohon. “Yang
berasal dari Timika berasal dari suku Amungme (Nduga) dan Kamoro” jelas
Sekretaris Eksekutif LPMAK, Emanuel Kemong, Jumat (31/5) di kantor
LPMAK, Jalan Yos Sudarso, Timika.
Kepastian bahwa mereka akan ke Jerman, ternyata
butuh perjuangan, ketekunan dan kedisiplinan yang tinggi tersendiri.
“Dari 102 siswa yang mendaftar, kemudian diseleksi kemampuannya dan
hanya 50 siswa yang lulus. Dari 50 siswa itu kemudian ditest untuk ikuti
persiapan di Losnito Intensive Program selama 6 bulan, dan ke-12 siswa
itu kemudian diuji oleh Prof. DR. Herman Josef Buckhermen dari Program
Freshman, Univeritas Aachen, Jerman” ungkap Bp. Yohanes Tabuni dari
Yayasan Harapan Pola Papua, yang memiliki motto, “berubah untuk menjadi
kuat”.
Hari ini ke 21 siswa Papua itu memulai menapak ke
Jakarta untuk mempersipakan diri berangkat ke Jerman pada awal September
nanti. “Ada banyak hal yang harus mereka selesaikan seperti mendapat
urus pasport, urus visa, mematangkan bahasa Jerman dan Inggris serta
Matematika” jelas Bp. Yohanes Kembuan dari IDEA.
Studi ke Jerman bagi
siswa non Papua masih menjadi mimpi yang entah kapan terwujud. Terutama
tingginya biaya studi dan living cost selama berada di Jerman. “Dari
segi intelektualitas, sebenarnya iswa-siswa non Papua, lebih menonjol,
tapi karena tidak ada dukungan bea-siswa seperti anak Papua, ya sudah
lanjut studi di perguruan tinggi yang murah dan dekat” ujar Brenda yang
fasih berbahasa Inggris.
Semua institusi
pemberi bea siswa ke Jerman berharap, 10 tahun ke depan mereka
diharapkan kembali ke tanah Papua, harta harapan, tanah leluhur, seperti
dalam lirik lagu yang didendangkan oleh ke 21 siswa Papua itu.
Kini, Jerman menjadi
salah satu tempat favorit bagi generasi muda Papua untuk berubah menjadi
kuat seperti lirik lagu Aku Papua ini, “Bersama angin bersama daun, Aku
di besarkan”.